Monday, 29 October 2007

Nih ada artikel bagus dari MediaIndonesia online.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Generasi Instan

TEPAT hari ini, 79 tahun yang lalu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara melepas primordial kesukuan. Mereka menyatukan rasa dan hasrat untuk satu bangsa, satu bahasa, dan satu Tanah Air.

Kesamaan riwayat dan kesamaan kehendak telah menyatukan anak muda dalam ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Ikrar itu pun menjadi mantra mujarab yang mampu mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaan.

Tragisnya, ikrar Sumpah Pemuda itu kini sudah sayup-sayup terdengar dihempas gelombang selera generasi baru yang gemar hura-hura. Generasi baru yang mulai mengidap penyakit amnesia sejarah, penyakit lupa riwayat.

Sungguh ironis memang. Zaman yang mengagungkan modernitas ini justru dihuni generasi kerdil. Bukan hanya kerdil dalam mewarisi nilai sejarah, tapi licik berpikir malah hampa kehendak. Generasi sekarang justru tidak mampu memahat karya agung yang bisa dikenang sepanjang perjalanan detak jarum detik.

Kaum muda sekarang cenderung disandera kemewahan sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Inilah generasi instan.

Generasi yang membunuh proses demi menggapai hasil. Media massa terutama audio visual turut berperan membidani kelahiran generasi instan itu.

Akibatnya, ketika hasil tidak bisa diraih sekejap, tidak sedikit anak muda yang terjebak narkoba yang angkanya setiap tahun cenderung meningkat. Mereka juga terjerembap dalam kubangan kriminalitas, hidup hura-hura, dan lebih senang mencontek daripada belajar. Jangan kaget, nasionalisme mulai memudar di sanubari generasi penerus bangsa ini.

Generasi instan itu tentu saja terutama dilahirkan para pemimpin bangsa yang gemar korupsi untuk menumpuk harta dan hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Kaum muda pun telah kehilangan sosok anutan lantaran kelakuan pemimpin jauh dari ucapan. Pemimpin tidak lagi satu kata dengan perbuatan.

Benar kata Kahlil Gibran bahwa orang yang mendatangkan bencana untuk bangsanya adalah orang yang tidak menebar benih, tidak menyusun bata, tidak menenun kain, tapi menjadikan politik sebagai mata pencarian.

Politik sebagai mata pencarian justru dipertontonkan secara kasatmata oleh politikus yang menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Para politikus itu sengaja memutuskan urat malu sehingga tak segan berperan sebagai calo anggaran. Gairah pelesir ke luar negeri dikemas dalam kegiatan studi banding yang dibiayai anggaran negara.

Jadi, jangan heran, sudah menjadi sebuah fenomena, kaum muda kini berlomba-lomba masuk pentas politik. Tujuan mereka tentu saja bukan berlomba-lomba mengabdikan kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Mereka justru ingin menggenggam kekuasaan sebagai jalan pintas mengisi pundi-pundi pribadi.

Karena itu, pahatan prestasi di atas kanvas perlombaan internasional seperti memenangi Olimpiade Fisika oleh sejumlah pelajar merupakan setetes air yang menghapus dahaga harapan. Masih ada harapan bagi generasi muda untuk mengukir nama bangsa dan negara di tengah kecenderungan serbainstan.

Tidak ada kata terlambat. Sudah tiba waktunya bagi kawula muda mengarungi riwayat perjuangan mulia generasi terdahulu. Tafsir riwayat itu bisa menjadi modal untuk memotivasi diri dan menghapus stempel generasi instan. Kredo Sumpah Pemuda mestinya selalu menggelora dalam keseharian sanubari anak muda bangsa ini, bukan cuma sekali setahun setiap 28 Oktober.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Apakah saya termasuk sebagai seorang generasi instan?

Those who were born in the early to late 1980s would have lived through the downfall of Soeharto, and subsequently realised that maybe Indonesia is not yet ready for Democracy. Yet some would have thought that the nation, as a whole, needs a strong ruler to keep everyone in line - even if that means diverting a huge amount of money from the nation's treasury.

Meanwhile, those who were born in the 1990s has lived through the early days of Indonesia's democracy. A steady influx of Western culture and dilution of the nation's hereditary traditions. One may ask, if Indonesia becomes wealthy again, what would this do to a generation beset by a lack of nationality? It's impossible to know, but one should just look back say, 20 years.

The country's wealth was, and still is, in the hands of a selected few. And when you invite a commoner to a conversation on why Indonesia fails its citizens, he will say "Uneven distribution of wealth". This startling response is the reason why the country is on the verge of failing.

We have to stop waiting for a miracle to happen.

As for me, I'm doing my part as a member of a generation that will hopefully change the country for better.

No comments: